Minggu, 14 Agustus 2011

Intoduction for Definition of a "Competency"


Chapter 1
INTRODUCTION
PENGANTAR
David C.McClelland

In 1973,I published a paper,Testing for Competence Rather Than Intelligence,”. Which has been credited or blamed for launching the competency movement  in psychology.In this paper,I reviewed studies indicating that traditional academic aptitude and knowledge content tests, as well as school grades and credentials:
1.      Did not predict job performance or success in life.
2.      Were often’biased against minorities, women, and persons from lower socioeconomic strata.
Di 1973, Saya menerbitkan tulisan, Ujian untuk Kompetensi jarang dibandingkan Kecerdasan, ”. Yang telah dihargai atau disalahkan orang lain pada berkas kemajuan kompetensi di ilmu jiwa. Di tulisan ini, saya meninjau kembali belajar menunjukkan bahwa kecerdasan pelajar tradisional dan isi ujian pengetahuan, sebaik tingkatan sekolah dan surat kepercayaan:
1.      Tidak memprediksi prestasi pekerjaan atau kesuksesan dalam hidup.
2.      Condong  melawan minoritas, wanita,  dan orang dari sosial – ekonomi  dari tingkatan rendah.
These findings led me to look for research methods that would identify “ competency ” variables, which could predict job performance and were not biased (or, at least less biased) by race, sex, or socioeconomic factors.The most important of these methods were:
1.      Use of Criterion Samples.This method compares people who have clearly had successful jobs or interesting lives with people who are less successfulin order to identify those characteristics associated with success.
2.      Identification  of Operant Thoughts and Behaviors Causally Related to Successful Outcomes. That is, competency measures should involve open-ended situations in which an individual has to generate behavior, as distinguished from  “respondent” measures such as self-report and multiple-choice tests, which require choosing one of several well-defined alternative responses to carefully structured situations. Real-life and job situations rarely present such test conditions. Rather, the best predictor of what a person can will do is what he or she spontaneously thinks and does in an unstructured situation – or has done in similar past situations.
Ini memimpin saya mencari metode riset agar mengenali variabel “kompetensi”, yang dapat memprediksi prestasi pekerjaan dan adalah tidak condong (atau, sedikitnya kurang condong) dengan ras, kelamin,  atau faktor social - ekonomi. Paling penting dari metode ini: 
1.      Menggunakan Ukuran Sederhana. Metode ini membandingkan orang yang mempunyai pekerjaan yang berhasil atau menarik tinggal dengan orang yang kurang berhasil dalam perintah untuk mengenali karakteristik itu berasosiasi dengan sukses.
2.      Pengenalan dari Pemikiran Operant dan Kebiasaan oleh sebab dihubungkan ke akibat keberhasilan. Agar, kemampuan mengukur harus meliputi situasi terbuka di mana perorangan harus mengadakan kelakuan, sebagai perbedaan dari pengukuran “responden”  seperti laporan diri dan banyak pilihan percobaan, yang dengan baik mewajibkan memilih salah satu dari beberapa alternatif jawaban untuk dirumuskan dengan hati-hati situasi terstruktur. Kehidupan nyata dan situasi pekerjaan jarang menyajikan kondisi percobaan demikian. Lebih, prediksi terbaik seseorang dapat dan akan dilakukan apakah dia secara spontan berpikir dan di situasi tidak testruktur atau telah berbuat di mirip situasi yang telah lalu..
The first of these methods were with U.S .State Department Foreign Service Information Officers and Massachusetts human service workers.The State Department study is worth recounting because it illustrates the competency identification process.
Pertama dari metode ini dimana Para petugas Departemen Luar Negeri dan Tenaga Kerja massachusett (Negara bagian AS). Departemen belajar menceriterakan harga karena ini menggambarkan kemampuan pengenalan proses
In the early 1970s, McBer and Company was approached by the U.S.State  Department for help in selecting junior Foreign  Service Information Officers (FSIOs).These young diplomats represent America in foreign countries. They staff libraries, organize cultural events, and give talks on America to local groups. Their
real job is to get as many people as possible to like the United States and support U.S.policies. In 1970, almost all young FSIOs were white males.
Pada awal 1970, McBer dan Perusahaan dipilih oleh Departemen untuk membantu dalam memilih Para petugas Departemen pelayanan informasi asing junior (FSIOs). Diplomat muda ini mewakili Amerika di luar negeri. Mereka staf perpustakaan, organisir pertandingan  kebudayaan,  dan berbicara tentang Amerika kelompok lokal. Sebenarnya pekerjaan mereka untuk memperoleh orang sebanyak  mungkin untuk suka dan mendukung kebijaksanaan U.S. Di 1970, hampir semua FSIO adalah pemuda kulit putih
            Traditionally, the State Department had selected Foreign Service Information Officers  through the use of a Foreign Service Officer exam. This exam was based on the skills senior officials thought a modern diplomat needed-essentially knowledge of the liberal arts and culture: American history, western civilization, English usage, and specialties such as economics and government.
Secara tradisional, Departemen luar negeri telah memilih pegawai melalui penggunaan ujian petugas layanan informasi asing. Ujian ini didasarkan pada keahlian berpikir modern diplomat senior resmi pada dasarnya memerlukan pengetahuan seni dan budaya, sejarah Amerika, peradaban barat, pemakaian bahasa inggris,  dan berspesialisasi seperti ekonomi dan pemerintah.
The exam, however, had major drawbacks. First, because the tests required extremely high passing scores, minorities and others from less privileged cultures were much less likely to pass them. Second, a careful report prepared by Dr.KennethClark found that applicants’ scores on the FSIO General Aptitude Test Battery or the GeneralBackground Knowledge Test did not predict success as a FSIO, as rated afterward by performance on the job, at least at the very high levels required for consideration as an FSIO appointee. How a young FSIO did on his/her feet in Ethiopia was not predicted by very high vocabulary or aptitude test scores. Given the lack of relation of scores on these tests to on-the-job success, their use potentially represented an act of illegal discriminationand and handicapped the U.S.Information Service in its work since its officers did not truly represent the role of minorities in American life.
Ujian, bagaimanapun, mempunyai kendala utama. Pertama, karena ujian sangat diperlukan melewati nilai tinggi, minoritas dan lainnya kurang diberi hak istimewa budaya mungkin sangat sedikit lewat mereka. Kedua, laporan hati-hati mempersiapkan dari Dr. Kennethclark menunjjukan penggunaan nilai pada deretan ujian kecerdasan umum di FSIO atau ujian kecerdasan pengetahuan umum tidak memprediksikan berhasil sebagai FSIO, setelah itu dengan penilaian hati-hati pada prestasi kerja, sedikitnya di tingkat sangat tinggi diperlukan untuk pertimbangan orang yang di angkat sebagai seorang FSIO. Bagaimana seorang FSIO muda bertindak di Ethiopia tidak diramalkan oleh kosakata sangat luas atau nilai ujian kecerdasan. Dengan tiadanya hubungan nilai ujian dengan keberhasilan kerja, mereka menggunakan secara potensial mewakili tindakan tidak sah mendiskriminasi dan menghalangi Departemen luar negeri dalam  tugasnya sejak petugas tidak mewakili peranan minoritas hidup sesungguhnya di Amerika.
Our challenge was to answer the question: If traditional aptitude measures don’t predict job performance, what does? Our approach was, first, to request a criterion sample: some clearly superior performers, and a contrasting sample of average and/or poor performers. We asked the State Department  to tell us who its best junior FSIOs were and provide us with a comparison group.
Tantangan kami menjawab pertanyaan: jika ukuran kecerdasan tradisional tidak meramalkan prestasi pekerjaan, apa pendekatan kami?, Pertama, ke permintaan kriteria sederhana: dengan jelas para pelaku unggul,  dan membandingkan contoh rata-rata dan/atau pelaku miskin. Kami bertanya pada depertemen untuk memberitahu kita siapa junior terbaik nya FSIO dan sediakan kita dengan grup bandingan.
The superior group was composed of superstars, the most brilliant and effective young diplomats. These people, in the eyes of their bosses, peers, and foreign clients,were the most effective representatives of the United States abroad.The average goup were people who did their jobs just well enough not to get fired.   
Grup unggul disusun dari Superstar, paling brilian dan para diplomat muda efektif. Orang ini, dalam pandangan atasan mereka, orang yang sebaya,  dan langganan asing, wakil paling efektif kesatuan di luar negeri. Rata-rata goup orang yang pekerjakan mereka hanya cukup memuaskan tidak memperoleh menembak.
            Second, we developed a technique called the Behavioral Event Interview (BEI). Originally, we had hoped to observe the superior and average diplomats doing their daily work and see what the best people did that the mediocre ones did not. This approach was too expensive and impractical to try in a worldwide study. So we hit on the idea of getting people to provide very detailed, blow-by blow accounts of what they did in the most critical situations they had been in on their jobs. The Behavioral Event interview process gets a subject to describe three peak successes and three major failures in short story fashion. The interviewer acts as an investigative reporter asking the following questions: what led up to the situations? Who was involved? What did you think about, feel, and want to accomplish in dealing with the situations? What did you actually do? What happened? What was the outcome of the incident? These interviews gave us several hundred short stories about the toughest situations young diplomats actually faced on their jobs in foreign countries.
Kedua, kami membangun teknik memanggil wawancara tingkah laku peristiwa (BEI). Semula, kami mengharapkan untuk mengamati yang  unggul dan rata-rata diplomat lakukan sehari-hari dalam pekerjaan mereka dan melihat orang yang terbaik juga orang-orang kurang baik. Pendekatan ini terlalu mahal dan tidak berusaha belajar praktis di seluruh dunia. Tanpa diduga kami mendapatkan gagasan untuk memperoleh orang sangat terinci, Sebagian perhitungan mereka merusak situasi paling kritis mereka telah berada di pekerjaan mereka. Proses wawancara peristiwa tingkah laku untuk memperoleh gambaran tiga kesuksesan dan tiga kegagalan utama pada kisah singkat. Pewawancara bertindak sebagai suatu jurnalis investigasi menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa yang mengarahkan pada situasi? Siapa orang yang bersangkutan? Apa yang telah yang kamu pikirkan, rasakan,  dan mau menyelesaikan di berhadapan dengan situasi? Apa sebenarnya yang telah kamu lakukan? Apa  yang terjadi? Apa yang merupakan hasil peristiwa? Wawancara ini memberi kita beberapa ratus cerita pendek tentang situasi paling tabah sebenarnya diplomat muda yang dihadapi di pekerjaan mereka di luar negeri.
            The BEI essentially combines Flanagan’s critical incident method  with Thematic Apperception Test (TAT) probes developed over 30 years in studying motivation. However, Whereas Flanagan was interested in identifying the task elements of jobs, we were interested in the characteristics of the people who did a job well.
BEI pada dasarnya kombinasi metode peristiwa kritis Flanagan dengan Thematic Apperception Test (TAT) membangun penyelidikan melalui 30 tahun pada motivasi belajar. Akan tetapi, Flanagan tertarik mengenali tugas unsur-unsur pekerjaan, kami tertarik pada karakteristik orang-orang yang bekerja dengan baik.
Third, we thematically analyzed BEI transcripts from superior and less effective FSIOs to identify characteristics that differed between the two samples, generally behaviors shown by superior performers and not shown by average performers. Such thematic differences are typically translated into objective scoring definitions, which can be reliably coded by different observers.
Ketiga, tema utama kami menganalisis transkrip BEI dari unggul dan kurang efektif FSIO untuk  mengenali karakteristik yang berbeda antara kedua conntoh, pada umumnya kebiasaan menunjukkan oleh pelaku unggul dan tidak menunjukkan rata-rata pelaku. Demikian perbedaan tema khas diterjemahkan ke definisi membuat nilai obyektif, yang dapat dipercaya dengankode dari pengamat berbeda.
            BEI transcripts are then scored according to these definitions utilizing a method long used to measure motivation now being called “CAVE” for content analysis of verbal expression. CAVE coding enables investigators to count (measure empirically) and test statistically for the significance of differences in the characteristics shown by superior and average performers in various jobs. This method was used extensively in a subsequent study of the competencies characterizing outstanding diplomats in the regular Foreign Service.
Transkrip-transkrip BEI kemudian dicetak menurut definisi ini memanfaatkan sebuah metode panjang digunakan untuk memotivasi ukuran yang sekarang disebut “CAVE” untuk analisis isi ekspresi persandian lisan. CAVE  mengaktifkan pemeriksa untuk menyatakan (ukuran dengan pengalaman) dan ujian statistik untuk perbedaan yang berarti pada karakteristik ditunjukkan oleh pelaku unggul dan pelaku rata-rata dalam berbagai pekerjaan. Metode ini kemudian digunakan secara luas menandai pada pembelajaran kompetensi diplomat mudah terlihat pada pelayanan luar negeri.
            Competency characteristics that differentiated superior from average in formation officers included the following.
Karakteristik kompetensi yang membedakan unggul dari rata-rata pada formasi petugas termasuk berikut
            Cross-Cultural Interpersonal Sensitivity. The ability to hear what people from a foreign culture are really saying or meaning; and to predict how they. Will react. For example, one FSIO told the following story:
Kepekaan hubungan antar pribadi antar budaya. Kemampuan mendengar orang dari budaya asing sungguh berarti;  dan meramalkan bagaimana mereka berpengaruh. sebagai contoh, satu FSIO menceritakan kisah  berikut:
            I was a cultural affairs officer in North Africa. One day I received a directive from Washington saying I had to show a certain film an American politician who I knew was seen as hostile to this country’s position. I knew that if I showed that film, this place would be burned down the next day by about 500 angry, left-wing students. Washington thinks the film is great, but the locals will find it offensive. What I had to figure out was how to show the film so the Embassy can tell Washington we did, and yet not offend anyone in the country…….I came up with the solution of screening it on a holy day when nobody come.
Saya petugas urusan kebudayaan di Afrika Utara. Satu ketika saya menerima petunjuk dari Washington mengatakan saya mempunyai pertunjukan sebuah jaringan khusus politikus Amerika yang saya ketahui sebagai posisi bermusuhan pada  negara ini. Saya mengetahui bahwa jika saya menunjukkan jaringan khusus itu, tempat ini akan dibakar sepanjang hari  oleh sekitar 500 pelajar sayap  kiri yang marah. Washington berpikir jaringan khusus  baik,  tetapi penduduk lokal akan merasakan serangan ini. Apa saya mempunyai figure untuk  menunjukkan bagaimana cara jaringan khusus keluar sehingga kedutaan besar Washington dapat memberitahu kami,  dan masih tidak menyinggung siapa saja di negara……. Saya mengusulkan penyelesaian ini di hari suci bila tidak seorangpun datang.

This young diplomat had the social sensitivity to know how the local population would react and also knew how to handle it in his own organization.
Diplomat muda ini mempunyai kepekaan sosial untuk mengetahui bagaimana populasi lokal akan berpengaruh dan juga mengetahui bagaimana cara menangani ini di organisasi miliknya
Positive Expectation of  Others. A strong belief  in the underlying dignity and worth of  others different from oneself, and  the ability  to maintain this positive outlook  under stress. For example , another diplomat told  of maintaining friendships with radical student leaders who had threatened to burn down her USIA library:
Harapan Positif Lain. Iman kuat mendasari kebebasan dan perbedaan lain dari diri sendiri,  dan kemampuan mengendalikan pandangan positif ini dibawah tekanan. Sebagai contoh, Diplomat lainnya memberitahu dari memelihara persahabatan dengan pemimpin pelajar radikal yang mengancam untuk membakar habis perpustakaan USIAnya:
… despite the troubles we had with them, I never stopped liking and respecting the student leaders.They were just becoming conscious of their nationalism, and that they were going to be the leaders of a greatly changed country. I could understand  that they needed to rebel against us, to stand up to us, even throw us out – even when they wanted to burn my library ! So I told  them that, and invited them to use our facilities to hold some of their  meetings.I tried  to get resident Americans here to listen , so more of them  would  understand. I’ve got good contacts with some of the student leaders now.And we haven’t  been burned down  yet!
… meskipun kami mempunyai masalah dengan mereka, Saya tidak pernah menghentikan kegemaran dan penghormatan dengan pemimpin pelajar. Mereka hanya menjadi menyadari akan nasionalisme mereka,  dan mereka ingin sangat menjadi pemimpin untuk merubah negara itu. Saya dapat mengerti mereka itu diperlukan untuk berontak melawan kita, untuk berdiri  menahan kita, bahkan melempar kita keluar - bahkan ketika mereka ingin membakar perpustakaan saya! saya memberitahu mereka itu,  dan mengundang mereka menggunakan fasilitas kami untuk menahan sebagian dari pertemuan-pertemuan mereka. Saya berusaha memperoleh penduduk Amerika disini untuk mendengarkan, lebih banyak dari mereka akan mengerti. Saya dapatkan hubungan baik dengan sebagian dari pemimpin pelajar sekarang. Dan kami masih tidak membuat marah kebawah!

Speed in Learning  Political Networks.   The ability to figure out very quickly who influences whom and what each person’s political interests are. For example, a superior  FSIO told of going to an African country and rapidly  deducing  that it was “ the prime minister’s  exsecutive assistant’s  mistress’s nephew who called  shots on petroleum  policy.”  The FSIO then promptly  managed to get  invited  to a party  where  he could meet  and begin lobbying  this nephew.
Percepatan pada pengetahuan jaringan politis. Kemampuan figur keluar dengan sangat cepat dipengaruhi siapa yang dan apa minat politis setiap orang. Sebagai contoh, unggul FSIO memberitahu dari Negara Afrika dan dengan cepat menyimpulkan bahwa itu "Menteri Utama,   Asisten Eksekutif, Keponakan Nyonya yang memanggil tembakan-tembakan pada kebijaksanaan Industri Perminyakan". FSIO kemudian dengan segera mengelola untuk memperoleh undangan ke pesta dimana dia dapat menjumpai dan mulai melobi keponakan ini.
These three competencies, and other nonacademic  skills such as the  ability to generate  a number of promotional ideas , appeared much more frequently in the thoughts and actions of superior  FSIOs.  Average performers either did not report incidents showing these skills, or they told stories in which these skills were clearly lacking.  For example, average FSIOs described  situations that blew up in their faces because they did not foresee  the political consequences  of an action ( lack of social sensitivity and political  savvy). Average  performers’ BEIs  were much more likely to contain  negative comments and even racial  slurs about  their  host country’s  “clients.”
Tiga  kompetensi ini,  dan keahlian nonacademik lain seperti kemampuan mengadakan promosional sejumlah ide, muncul jauh lebih sering di pemikiran dan aksi-aksi unggul FSIO. Rata-rata Pelaku tidak melaporkan salah satu peristiwa yang menunjukkan keahlian ini,  atau mereka memberitahu cerita di mana dengan jelas kekurangan keahlian ini. Sebagai contoh, rata-rata FSIO menjelaskan situasi yang memar di muka mereka karena mereka tidak memprediksi akibat politis dari suatu aksi ( ketiadaan kepekaan sosial dan pengertian politis). Rata-rata Pelaku BEI jauh lebih mungkin berisi komentar negatif dan bahkan rasial mengucapkan dengan kurang jelas tentang tuan rumah negara mereka " langganan. "
The final step was to validate the competency model (i.e.,prove that it did predict who would be a good FSIO, and that it did not discriminate unfairly on the basis of race, sex, cultural background, or irrelevant educational experiences).  This was done in two ways.
Langkah terakhir mensyahkan contoh kompetensi (i. e. , membuktikan bahwa itu meramalkan siapa akan menjadi suatu FSIO yang baik,  dan bahwa itu tidak dibedakan tanpa keadilan atas dasar ras, kelamin, latar belakang kebudayaan,  atau pengalaman pendidikan yang tidak relevan). ini dilakukan dua arah.
First, we identified  a new sample of superstar and average FSIOs. We interviewed these diplomats using the BEI method and scored their stories too see if  they showed the critical competencies. Competencies that, once again, appeared more often  in the stories of the best performers were considered validated, and therefore accurate, predictors of the skills needed to be a good FSIO.
Pertama, kami mengenali contoh superstar baru dan rata-rata FSIO. kami mewawancarai Diplomat ini menggunakan metode BEI dan juga mencetak cerita mereka melihat jika mereka menunjukkan kritis kompetensi. Kompetensi itu, sekali lagi, sering muncul banyak di cerita Pelaku terbaik dianggap mensahihkan,  dan oleh karena itu teliti, prediksi keahlian diperlukan untuk menjadi FSIO yang baik.
      Second, new kinds of tests were found to measure the competencies. For example, a good measure for empathy and social sensitivity is the Profile of Non-Verbal Sensitivity (PONS). This test is a recording of people talking emotionally about various situation. These little snatches of emotional talk have been put through an electronic filter so that the listener can hear the emotion but not make out the word. After listening to each speech segment, the subjects are asked questions such as “Is this a man (a) talking about his divorce or (b) arguing with a subordinate?” People with more empathy can hear the difference between sorrow or hurt in the first scenario and anger or irritation in the second.
Kedua, ujian jenis baru menemukan ukuran Kompetensi. sebagai contoh, ukuran baik untuk pengenalan jiwa orang lain dan riwayat kepekaan sosial dari bukan kepekaan lisan (PONS). Ujian ini merupakan rekaman orang berbicara secara emosional tentang berbagai situasi. Sebagian kecil ini dari emosional membicarakan uraian melalui filter listrik sehingga pendengar dapat mendengar emosi tetapi tidak mengeluarkan perintah. Setelah mendengarkan setiap bagian ucapan, Subyek dimintai pertanyaan seperti" Apakah ini seorang pria (a) membicarakan tentang perceraiannya atau (b) berdebat dengan bawahan? " orang dengan banyak pengenalan jiwa orang lain dapat mendengar perbedaan diantara duka cita atau lukai di skenario pertama dan kemarahan atau kejengkelan di yang kedua.
      This test was given to superior and average FSIOs. Superior FSIOs scored significantly higher on the PONS because they were better able to “tune into” others feelings. Scores on the PONS did not differ by FSIO race, sex, or educational background.
Ujian ini diberikan ke FSIO unggul dan FSIO rata-rata. FSIO unggul dicetak dengan mantap lebih tinggi pada PON karena mereka lebih mampu untuk" bersuara ke" perasaan lain. Nilai di PON tidak dibedakan oleh ras, kelamin,  atau latar belakang pendidikan FSIO.
      Further research using this competency assessment method led to the definition of competence and standard procedures for conducting the competency research studies described in this book.
            Lebih jauh riset menggunakan metode penilaian kompetensi ini untuk mendefinisika kompetensi dan belajar prosedur standar untuk melaksanakan riset kompetensi dijelaskan dalam buku ini.
      In 1991, the competency assessment method was being used by more than 100 researchers in 24  countries. Twenty years of experience with the method have generated a wordwide competency model data base and generic competency dictionary, “just-noticeable-difference” (JND), scales for many competencies, cross-cultural comparisons, and new findings about the role of achievement motivation and information seeking in predicting job performance. These and many other innovations and applications of the competency methodology are presented in the following chapters.
Di tahun 1991, metode penilaian Kompetensi digunakan oleh lebih dari 100 peneliti di 24 negara. Dua puluh tahun pengalaman dengan metode telah mengembangkan model data dasar kompetensi diseluruh dunia dan kamus kompetensi umum, " Hanya perbedaan nyata" (JND), skala untuk banyak kompetensi, perbandingan antar budaya,  dan temuan baru tentang peranan motivasi pencapaian dan informasi mencari-cari dalam memprediksi prestasi pekerjaan. Ini dan banyak penemuan lain dan aplikasi metodologi kompetensi dipersembahkan di bab berikut.
The job competency movement has advanced the way in which psychologists go about their traditional task of getting the right person into the right job. Formerly, psychologists identified the tasks required for the job ( as in the motor skills needed for operating a streetcar or an airplane ), constructed tests to measure the skills needed to perform these tasks, factor - analyzed performance scores on those tests after making sure the scores were reliable, and then tried to match the factor scores with success on the job without conspicuous success. In essence, traditional industrial / organizational psychology started with separate analyses of the job and the person, and tried to fit them together. This approach had its greatest success in predicting academic performance from academic - type tests, but it has proved quite inadequate for predicting performance in the high - level jobs of greatest importance to modern business.
Pergerakan kompetensi pekerjaan telah menjadi kemajuan cara yang ditempuh oleh psikolog untuk tugas tradisional mereka memperoleh benar orang umtuk pekerjaan yang benar. Dahulu, Psikolog mengenali tugas yang diperlukan untuk pekerjaan ( seperti di keahlian motor dibutuhkan untuk mengoperasikan trem atau pesawat udara ), menyusun percobaan ke ukuran keahlian dibutukhkan untuk melakukan tugas ini, faktor - menganalisis nilai prestasi di percobaan itu setelah nilai andal membuat yakin,  dan kemudian berusaha sukses untuk memenuhi faktor nilai dengan hati-hati tanpa kesuksesan yang menyolok. Pada pokoknya, organisatoris industri tradisional / ilmu jiwa mulai dengan memisahkan meneliti pekerjaan dan orang,  dan bersama berusaha untuk mencocokan  mereka. Pendekatan ini mempunyai kesuksesan prediksi akademik terbesar dari ujian akademik,  tetapi ini telah terbukti sungguh tidak cukup untuk memprediksi prestasi di pekerjaan tingkat tinggi dari kepentingan terbesar pada urusan modern.
In the job - competency approach, analysis starts with the person – in – the – job, makes no prior assumptions as to what characteristics are needed to perform the job well, and determines from open – ended behavioral event interviews which human characteristics are associated with job success. The competency method emphasizes criterion validity: what actually causes superior performance in a job, not what factors most reliably describe all the characteristics of a person, in the hope that some of them will relate to job performance.
Pada pendekatan kompetesi pekerjaan, analisis dimulai dengan orang - di  - pekerjaan, tidak membuat asumsi lebih dahulu mengenai karakteristik apa yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan dengan baik,  dan memutuskan dari membuka - mengakhiri wawancara peristiwa tingkah laku yang karakteristik manusia berasosiasi dengan kesuksesa pekerjaan. Metode kompetensi memberatkan keabsahan kriteria: apa sebenarnya yang menyebabkan prestasi unggul pada pekerjaan, faktor apa paling dapat tidak dipercaya menggambarkan semua karakteristik seseorang, di harap kan beberapa di antara mereka akan berhubungan dengan prestasi pekerjaan.
Competencies identified by the competency process are context sensitive (e.g. they describe what successful Indian entrepreneurs actually do in their own organizations and culture, not what Western psychological or management theory say should be needed for success). Competency - based selection predicts superior job performance and retention - both with significant economic value to organization - without race, age, gender, or demographic bias.
Kompetensi dikenali oleh proses kompetensi sebagai kontek yang sensitif (e. g. mereka menggambarkan apakah pengusaha indian sebenarnya berhasil merusak organisasi mereka sendiri dan budaya, tidak apakah kejiwaan barat atau teori kepemimpinan seharusnya dibutuhkan untuk kesuksesan). Kompetensi berdasarkan pilihan memprediksikan prestasi pekerjaan unggul dan daya ingat keduanya dengan nilai ekonomis signifikan pada organisasi tanpa ras, umur, jenis kelamin,  atau prasangka demografis
The competency approach provides a human resource method broadly applicable to selection, career pathing, performance appraisal, and development in the challenging years ahead.
Pendekatan kompetensi  menyediakan sumber daya manusia dengan pilihan metode yang luas dapat digunakan untuk, jalan karir, pertimbangan prestasi,  dan pengembangan pada pekerjaannya ditahun sebelumnya.


                                  Chapter 2                                                  
Definition of a “Competency”
Definisi dari “Kompetensi”

A competency is an underlying characteristic of an individual That is causally related to criterion - referenced effective and/or superior performance in a job or situation.
Kompetensi mendasari sifat dari seorang individu yang oleh sebab dihubungkan pada acuan kriteria efektif dan/atau prestasi unggul di suatu pekerjaan atau situasi.
Underlying characteristic means the competency is a fairly deep and enduring part of a pearson’s personality and can predict behavior in a wide variety of situations and job tasks.
Karakteristik dasar berarti kompetensi agak lebih baik dan bagian kronis dari kepribadian seseorang dan dapat diprediksi kelakuan di suatu  situasi yang luas dan tugas pekerjaan
Causally related means that a competency causes or predicts behavior and performance.
Criterion - referenced means that the competency actually predicts who does something well or poorly, as measured on a specific criterion or standard. Examples of criteria are the dollar volume of sales for salespeople or the number of clients who stay “ dry ” for alcohol-abuse counselors.
Oleh sebab dihubungkan berarti kompetensi itu menyebabkan atau memprediksi tingkah laku dan prestasi. Acuan kriteria berarti bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang melakukan sesuatu lebih baik atau kurang baik, sebagai pertimbangan pada kriteria khusus atau standar. Contoh dari kriteria nilai dolar dari penjual untuk pelayan toko atau langganan banyaknya yang tinggal" kering" untuk penyalahgunaan  alkohol.penasehat.
The following sections in this chapter discuss each part of this definition: underlying characteristic, causally related, criterion-referenced.
Di bab bagian berikut ini mendiskusi setiap bagian dari definisi ini: karakteristik dasar, oleh sebab dihubungkan, acuan-kriteria.

UNDERLYING CHARACTERISTICS

Competencies are underlying characteristics of people and sindicate “ways of behaving or thingking, generalizing across situatins, and enduring for a reasonably long period of time”.
Kompetensi mendasari karakteristik orang dan sindicate " jalan bertindak atau thingking, menyamaratakan lintasi situatin,  dan kronis untuk layak periode lame dari waktu" .

Five Types of Competency Characteristics
Lima Tipe Karakteristik Kompetensi

1.      Motives.   The things a person consistently thinks about or wants that cause action. Motives                               “drive, direct, and select” behavior toward certain actions or goals and away from                     others.
1.      Alasan. Barang seseorang berpikir secara konsisten tentang atau keinginan yang menyebabkan aksi. Alasan “kampanye, mengatur, dan memilih” tingkah laku menuju aksi-aksi tertentu atau tujuan dan menjauh dari lain.
Example : achievement-motivated people consistently set challenging goals for themselves, take personal responsibility for accomplishing them and use feedback to do better.
Contoh: motivasi pencapaian orang secara konsisten seperangkat meragukan tujuan untuk mereka sendiri, mengambil tanggungjawab pribadi untuk penyelesaian mereka dan menggunakan tanggapan balik untuk melakukan lebih baik.

2.      Traits. Physical characteristics and consistent responses to situations or information.
Example : reaction time and good eyesigh are physical trait competencies of combat pilots.
Emotional self-control and initiative are more complex “consistent responses to situations”. Some people don’t “blow up” at others and do act “above and beyond the call of duty” to solve problems under stress.
Motives and competencies are intrinsic operant or self-starting “master traits” that predict what people will do on their jobs long term, without close supervision.
2.      Ciri. Karakteristik fisik dan jawaban bersesuain situasi atau informasi.
Contoh: Waktu untuk bereaksi dan penglihatan baik ciri fisik kompetensi dari penerbang tempur.
Emosional pengendalian-diri dan langkah awal lebih rumit “jawaban bersesuain situasi”. Sebagian orang tidak “menyerang” di pihak lain dan lakukan bertindaklah “di atas  dan di seberang memanggil dari tugas” memecahkan masalah dibawah tekanan.
Alasan dan kompetensi intrinsik operant atau menggerakkan diri  “ciri majikan” itu meprediksikan apakah orang akan bertindak sesuai pekerjaan mereka jangka panjang, tanpa mengakhiri pengawasan.

3.      Self-concept. A person’s attitudes, values, or self-image.
Example: self-confidence, a person belief that he or she can be effective in almost any situation is part of that person’s concept of self.
A person’s values are respondent or reactive motives that predict what he or she will do in the sort  term and in situations where others are in charge. 3For example, someone who values being a leader is more likely to exhibit leadership behavior if he or she is told a task or job will be “a test of leadership ability”. People who value being “in management” but do not intrinsically like or spontaneously think about influencing others at he motive level often attain management positions but then fail.
3.      Citra diri. Sikap seseorang, nilai,  atau cerminan diri.
Contoh: Keyakinan diri, seseorang percaya bahwa dia dapat efektif di hampir beberapa situasi bagian dari itu citra diri seseorang.
Nilai seorang responden atau alasan reaktif yang memprediksikan apakah dia akan merusak jenis hubungan dan dalam situasi dimana yang lain berwenang. Sebagai contoh, seseorang yang layak menjadi pemimpin mungkin banyak memperlihatkan kelakuan kepemimpinan jika dia diberitahukan tugas atau pekerjaan akan selesai “sebuah ujian kompetensi dari kepemimpinan ”. Nilai orang yang “ di pimpinan ” tetapi tidak pada hakekatnya suka atau secara spontan memikirkan mempengaruhi yang lain alasan sering mencapai tingkat posisi pimpinan tetapi kemudian gagal.
4.      Knowledge. Information a person has in specific content areas.
Example: A surgeon’s knowledge or nerves and muscles in the human body.
Knowledge is a complex competency. Scores on knowledge tests often fail to predict work performance because they fail to measure knowledge and skills in the ways they are actually used on the job. First, many knowledge tests measure rote memory, when what is really important is the ability to find information. Memory or specific facts is less important than knowing which facts exist that are relevant to a specific problem, and where to find them when needed. Second , knowledge tests are “respondent”. They measure test takers’ ability to choose which of several options is the right response, but not whether a person can act on the basis of knowledge. For example, the ability to choose which of five items is an effective argument is very different from the ability to stand up in conflict situation and argue persuasively. Finally, knowledge at best predicts what someone can do, not what he or she will do.
4.      Pengetahuan. Informasi seseorang di bidang khusus.
Contoh: Pengetahuan ahli bedah dari urat syaraf dan otot di tubuh.
Pengetahuan adalah kompetensi rumit. Nilai di ujian pengetahuan sering gagal memprediksikan prestasi kerja karena mereka gagal pada pengetahuan ukuran dan keahlian di kebiasaan mereka sebenarnya hati-hati menggunakan. Pertama, banyak ukuran ujian pengetahuan dengan menghafal ingatan, apakah sungguh penting kemampuan menemukan informasi. Ingatan atau kenyataan khusus kurang penting daripada cerdas yang ada kenyataan itu sesuai ke masalah khusus,  dan dimana menemukan mereka bila diperlukan. Kedua, ujian pengetahuan “partisipasi”. pengambilan ukuran ujian kemampuan mereka dipilih dari beberapa pilihan jawaban benar,  tetapi tidak apakah seseorang dapat bertindak berdasarkan pengetahuan. Sebagai contoh, kemampuan memilih dari lima item alasan efektif sangat berbeda dari kemampuan berdiri di situasi perselisihan dan debat dengan penuh bujukan. Akhirnya, pengetahuan sebaiknya memprediksikan apakah seseorang dapat melakukan, tidak apakah dia akan lakukan.
5.      Skill. The ability to perform a certain physical or mental task.
Example : A dentist’s physical skill to fill a tooth without damaging the nerve : a computer programmer’s ability to organize 50.000 lines of code in logical sequential order.
Mental or cognitive skill competencies include analytic thinking (processing knowledge and data, determining cause and effect, organizing data and plans) and conceptual thinking (recognizing patterns is complex data)
5.  Keahlian. Kemampuan melakukan tugas.fisik atau mental tertentu
Contoh: Keahlian fisik dokter gigi untuk mengganti gigi tanpa merusakkan syaraf: kemampuan pembuat program komputer mengatur 50.000 baris kode di percontohan logis pesanan.
Teori kompetensi mental atau keahlian termasuk analitik berpikir (memproses pengetahuan dan data, menentukan sebab dan efek, mengorganisir data dan rencana) dan konseptual berpikir (mengenali pola data gabungan)
The type or level of a competency has practical implications for human resource planning. As illustrated at figure 2-1, knowledge and skill competencies tend to be visible, and relatively surface, characteristics or people. Self-concept, trait and motive competencies are more hidden, “deeper”, and central to personality.
Jenis atau tingkat kompetensi punya implikasi praktis untuk sumber perencanaan manusia. Sebagai ilustrasi gambar 2-1, kompetensi pengetahuan dan keahlian cenderung untuk menjadi kelihatan,  dan secara relatif  permukaan, karakteristik atau orang. Citra diri, ciri dan alasan kompetensi banyak tersembunyi, " mendalam" ,  dan berhubungan pada oknum.
Surface knowledge and skill competencies are relatively easy to develop: training is the most cost-effective way to secure these employee abilities.
Pengetahuan permukaan dan kompetensi keahlian secara relatif mudah mengembangkan: latihan jalan paling hemat biaya untuk mendapatkan kemampuan pekerja ini.

Core motive and trait competencies at the base of the personality iceberg are more difficult to assess and develop: it is most cost-effective to select for these characteristics.
Alasan sangat setia dan ciri kompetensi seseorang di markas gunung es sangat sulit menaksir dan mengembangkan: ini paling hemat biaya untuk memilih karakteristik ini.


 












Figure 2 – 1 Central and Surface Competencies
Self-Concept Competencies lie somewhere in between. Attitudes and values such as sel-confidence (seeing one`s self as “manager” instead of a “tehnical/professional) can be changed by training, psychoterapy, and/or positive development experince, albeit with more time and difficulty.
Konsep kompetensi sendiri terletak suatu tempat di tengahnya. Sikap dan nilai seperti nilai keyakinan (melihat diri sendiri sebagai" manager" daripada" tehnical/profesional) dapat diubah oleh latihan, psychoterapy, dan/atau pengembangan pengalaman positif, sekalipun dengan banyak waktu dan sulit.
Many organizations select on the basis of surface knowledge and skill comptencies (“we hire MBAs from good schools”) and either assume that recruits have the underlying motive and trait competencies or that these can be instilled by good management. The converse is probably more cost-effective: organizations should select for core motive and trait competencies and teach the knowledge and skills required to do specific jobs. Or as one personnel director put it, “You can teach  turkey to climb a tree, but it is easier to hire a squirel”
Banyak Organisasi memilih atas dasar pengetahuan permukaan dan keahlian kompetensi ("kami menyewa MBA dari sekolah baik") dan salah satu berasumsi bahwa anggota baru punya mendasari alasan dan ciri competencie atau ini itu dapat menanamkan oleh pimpinan baik. berbicara mungkin banyak hemat biaya: organisasi harus pilih untuk alasan sangat setia dan ciri competencie dan ajar pengetahuan dan keahlian diperlukan lakukan pekerjaan khusus. atau sebagai satu direktur pribadi meletakkan ini, " kamu dapat mengajar kalkun naik pohon,  tetapi ini lebih mudah menyewa squirel"
In complex jobs, competencies are relatively more important in predicting superior performance than are task-related skills, inteligence, or credentials. This is due “restricted range effect”. In higher level technical, marketing, professional, and managerial jobs, almost everyone has an I.Q. of 120 or above and an advanced degree from a good universit. What distinguishes superior performers in these jobs is motivation, interpersonal skills, and political skills, all of which are competencies. It follows that comptency studies are most cost-effective way to staff these positions.
Pada pekerjaan yang rumit, Kompetensi secara relatif penting dalam memprediksi prestasi unggul daripada keahlian mengaitkan tugas, inteligence,  atau surat kepercayaan. Ini betul "membatasi efek jarak" . Di teknis tingkat yang lebih tinggi, pemasaran, profesional,  dan managerial pekerjaan, semuanya hampir punya I.Q. dari 120 atau di atas dan lanjutan gelar dari Universitas bagus. Apa yang membedakan pelaku unggul di pekerjaan adalah motivasi, keahlian hubungan antar pribadi,  dan keahlian politis, sebanyak yang kompetensi. Hal ini ikut menunjukn belajar kompetensi  jalan paling hemat biaya ke posisi staf ini.




CAUSAL RELATIONSHIPS
HUBUNGAN PENYEBAB

Motive, trait, and self-concept competencies predict skill behavior actions, which in turn predict job performance outcomes, as in the motive/trait →behavior→outcome causal flow model shown in Figure 2-2.
Alasan, ciri,  dan kompetensi citra diri mempredisikan aksi-aksi tingkah laku keahlian, yang pada gilirannya memprediksikan prestasi hasil pekerjaan, seperti pada alasan/cirri     tingkah laku        hasil menyebabkan model aliran tampak pada gambar 2-2.
Competencies always include an intent, which is the motive or trait force that causes action toward an outcome. For example, knowledge and skill competencies invariably include a motive, trait, or self-concept competency, which provides the drive or “push” for the knowledge or skill to be used.
Kompetensi selalu bermasuk sungguh-sungguh, yang alasan atau kekuatan ciri yang menyebabkan aksi terhadap hasil. Sebagai contoh, pengetahuan dan kompetensi keahlian tanpa alternatif termasuk alasan, ciri,  atau kompetensi citra diri, yang menyediakan gerakan atau "dorong" untuk pengetahuan atau keahlian untuk digunakan.
            Behavior without intent doesn’t define a competency . An example  ismanagement by walking around.” Without knowing why a manager is walking around, you can’t know which, if any, competency is being demonstrated. The manager is intent could be boredom, leg cramps, the monitoring  of work to see if quality is high, or a desire “ to be visible to the troops.
Tingkah laku  tanpa maksud tidak mengartikan kompetensi. Contoh “pimpinan dengan berjalan berkeliling.”. Tanpa kecerdasan mengapa pimpinan berjalan berkeliling, kamu tidak tahu yang, bila ada, sedang mendemonstrasikan kompetensi. Maksud manager telah bosan, sudah tidak berguna lagi, kram, mengawasi pekerjaan jika terlihat kualitas tinggi,  atau keinginan“ untuk menjadi perhatian bawahan”
            Action behaviors can include thought, where thinking precedes and predict behavior. Example are motives (e.g., thinking about doing something better), planning, or problem solving thoughts.
Kebiasaan aksi dapat termasuk berpikir, dimana berpikir dahulu dan memprediksi tingkah laku. Contoh alasan (e. g. , berpikir tentang suatu tingkah laku yang lebih baik ), perencanaan,  atau pemikiran memecahkan masalah.
            Causal flow models can be used to do “risk assessment” analyses. For example, following the causal arrows in Figure 2-2, an organization that does not select for, develop, or arouse achievement motivation in its employees can expect less improvement in financial outcomes, productivity, and quality, and fewer new products and services. 
Sebabkan model aliran dapat digunakan untuk melakukan" penilaian resiko" meneliti. Sebagai contoh, panah berikut menyebabkan di figur 2-2, organisasi yang tidak memilih, mengembangka,  atau membangkitkan motivasi dalam pencapaian  karyawannya dapat sedikitnya dapat mengharapkan perbaikan di hasil finansial, produktivitas,  dan kualitas,  dan lebih sedikit produk baru dan pelayanan-pelayanan
Definition of a “Compotency”
        “Intent”                                               “Action”                                      “outcome”


 






Example: Achievement Motivation



 






                                                                                                    
                                                                                   
                                                                                                                                                                                                                                                                         
“Doing Better”
·         Competition With
New Products, service, and  Processes
 
               Standards of Excellence
·         Unique Accomplishment

Definisi dari  “Kompetensi”
       “tujuan”                                             “tindakan”                                       “hasil”


 








Contoh: Prestasi Motivasi












"Melakukan Lebih Baik"
Kompetisi Dengan
   Standar Keunggulan
Unik Prestasi
 
 









Figure 2-2 Competency Causal Flow Model
Gambar 2-2 Model kausal Arus Kompetensi


CRITERION REFERENCE
KRITERIA ACUAN

Criterion reference is critical to our definition of competence. A characteristic is not a competency unless it predicts something meaning ful in the real world. Psychologist William  James said the first rule for scientists shoul be that “ A difference which makes no difference is no difference.”  A characteristic or credential that makes no difference in permormance is not a competency and should not be used to evaluate people.
            The criteria most frequently used in competency studies are:

Kriteria acuan kritis ke definisi kompetensi kami. tak satu  pun karakteristik kemampuan kecuali jika ini memprediksikan sesuatu yang berarti di dunia nyata. Psikolog William Yakobus mengatakan pertama kekuasaan untuk ilmuwan adalah seharusnya “ perbedaan yang membuat perbedaan menjadi tidak perbedaan. ” Karakteristik atau mandat diplomatik yang membuat tidak berbeda pada prestasi tak satu  pun kompetensi dan tidak seharusnya digunakan untuk menilai orang.
Kriteria paling sering digunakan pada kompetensi belajar:
§  Seperior Permormance. This is defined statistically as one standard deviation above average performance ( see Figure 2-3), roughly the level achievedby the top 1 person out of 10 in the given working situation.
§  Prestasi unggul. Ini menggambarkan secara statistik satu standar baku di atas prestasi rata-rata ( lihat figur 2-3), secara kasar tingkat mencapai puncak 1 orang ke luar dari 10 pada situasi bekerja
§  Effective permormance.  This usually really means a “ minimally acceptable” level of work, the lower outoff point below which an employee would not be considered competent to do the  job
§  Prestasi efektif. Ini biasanya sungguh berarti “ minimal dapat diterima ” tingkat bekerja, lebih rendah melebihi poin di bawah yang pekerja tidak akan dianggap mempunyai kompetensi untuk lakukan pekerjaan










I Standard deviation (S.D) in performance is worth 19 % - 120 % output value – added
(e.g., for high – complexity jobs 1 S.D is worth 48% of salary)
I. Standar baku (S. D di kisaran harga 19 % - 120 % nilai hasil - penambahan
(e. g. , untuk pekerjaan-pekerjaan dengan kompleksitas tinggi 1 S. D harga 48% gaji)
                                









Low – Complexity jobs
Pekerjaan-pekeraan dengan komleksitas rendah
19 %
Moderate – Complexity jobs
Pekerjaan-pekeraan dengan komleksitas menengah
32 %
High– Complexity jobs
Pekerjaan-pekeraan dengan komleksitas tinggi
48%
Sales
Penjual
48% - 120%
Adapted from J.E. hunter, F. L. Schmidt, and M.K. Judiesch. “ Individu Differences in Output Variability as a Function of Job Complexity. “ Journal of Applied Psychology 75 (1990), 28 – 42
Diadaptasi dari j. E. Hunter, F. L. Schmidt,  dan M. K. Judiesch. “ Perbedaan Individu pada Perubahan Hasil sebagai Fungsi Kompleksitas Pekerjaan. “ Jurnal Penerapan Ilmu Jiwa 75 (1990,28 - 42
Figure 2 – 3 What superior Performance 1s Worth
Gambar 2 – 3 Apa Penampilan Unggul 1 harga
“One standard deviation” is used to define superior performance for two reasons. First, many research studies have documented the economic value of this level performance to organizations Depending on the complexity of the job, the value of one standard deviation above the mean is 19 to 48 percent of output for nonsales jobs, and 48 to 120 percent for sales (see Figure 2 – 3). A minimum estimate of economic value of superior performance can be calculated by taking these percentages multiplied by the average salary per year for the job. In fact, this global estimate approach seriously undervalues jobs that leverage significant revenues or assets. For example, a recent survey of 44 Southeast firms found that superior salespeople (earning an average of 541,777), sold on average 123 percent more than the average salespeople, a difference worth not 120 percent but 8,857 percent (or 89 times) the average employee salary.
“ Satu standar baku ” digunakan untuk mengartikan dua alasan prestasi unggul. Pertama, banyak riset telah belajar mendokumentasikan nilai ekonomis dari tingkat prestasi pada organisasi tergantung pada kesulitan pekerjaan, nilai satu standar baku rata-rata di atas 19 samapai 48 persen dari hasil untuk pekerjaan bukan penjual,  dan 48 sampai 120 persen untuk penjual (lihat gambar 2 – 3). Sebuah perkiraan minimum dari nilai ekonomis penampilan unggul dapat dihitung dengan mengalikan persentase gaji rata-rata per tahun untuk pekerjaan. Kenyataannyanya, cakupan perkiraan luas ini mendekati dengan serius nilai kurangnya pekerjaan tersebut daya pengungkit itu signifikan pendapatan atau aktiva. Sebagai contoh, survei baru-baru ini 44 perusahaan tenggara menemukan para pelayan toko unggul itu (memperoleh rata-rata dari 541,777) penjualan condong kepada rata-rata 123 persen lebih dari para pelayan toko, rata-rata harga perbedaan tidak 120 persen tetapi 8,857 persen (atau 89 kali) rata-rata gaji pekerja.
These data suggest the practical economic value of competency model that can help a firm find even one additional superior salesperson: $3.7 million – a benefit that can justify can considerable investment in competency research.

Data ini menyarankan nilai ekonomis praktis contoh kompetensi yang dapat membantu perusahaan menemukan bahkan satu wiraniaga unggul tambahan: 3.7 juta - pertolongan yang dapat membenarkan dapat investasi dapat mempertimbangkan di riset kompetensi.
Second, to improve performance, organization should use the characteristics of superior performers as their “  templator “ or “  blue print  ” for employee selection and development. Failure to do so is essentially to select and train to mediocrity – an organization’s current average level of performance.
Kedua, untuk meningkatkan prestasi, organisasi harus menggunakan karakteristik pelaku unggul sebagai  mereka “ templator “ atau “ rencana ” untuk memilih pekerja dan pengembangan. Kegagalan pada dasarnya untuk memilih dan mengarahkan orang yang sedang-sedang saja ke organisasi tingkat penampilan rata-rata.

CATEGORIZING COMPETENCIES
PENGGOLONGAN KOMPETENSI

Competencies can be divided to into two categories, “ threshold “ and “ differentiating “ according to the job performance criterion they predict.
·          Threshold competencies. These are the essential characteristics (usually knowledge or basic skills, such as the ability to read) that everyone in a jobs needs to be minimally effective but that do not distinguish superior from average performers. A threshold competency for a salesperson is knowledge of the producy or ability to fill out invoices
·          Differentiating Competencies. These factors distinguish superior from average performers. For example, achievement orientation expressed in a person’s setting goals higher than those required by the organization, is a competency that differentiates superior from average salespeople.
competencie dapat membagi ke ke dua categorie, “ Ambang Batas“ dan “membedakan“ menurut pekerjaan ukuran penampilan perkiraan mereka.
·         Kompetensi Ambang Batas. Ini karakteristik pokok (biasanya pengetahuan atau keahlian dasar, seperti kemampuan membaca) semuanya itu dalam pekerjaan diperlukan untuk efektif minimal tetapi itu tidak membedakan unggul dari pelaku rata-rata. kompetensi ambang batas untuk pengetahuan wiraniaga produc atau kemampuan mengisi faktur
Kompetensi Membedakan. Factor-faktor ini membedakan unggul dari pemain rata-rata. Sebagai contoh, orientasi pencapaian terungkap di pengaturan individu tujuan yang lebih tinggi diperlukan oleh organisasi itu, kemampuan yang membedakan unggul dari rata-rata para pelayan toko




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini